Hot Posts

Berkolaborasi dan Bertransformasi Menumbuhkan Ekosistem Digital Menuju Merdeka Belajar

SELAMAT DATANG DI BLOG GURU DION INDONESIA

Perkenalkan ngaran ulun Bapak Agus dari SMP Mitra Kasih Banjar. Ulun Sahabat Teknologi 2023 Provinsi Kalimantan Selatan. Ulun mewakili Kabupaten Banjar. Mohon dukungan dan doa pian sabarataan, agar ulun dapat melaju ke Tingkat Nasional sebagai Duta Teknologi Kemendikbudristek 2023 mewakili Kalimantan Selatan. Terima kasih nggih, ulun minta rela, minta ikhlas, minta Ridha lawan pian sabarataan.

Comments

4/comments/show

Tulisan yang Terobsesi Menjadi Buku

Suasana Promo Buku Memperingati 35 Tahun Gramedia Tahun 2020

(Sumber foto: https://batam.tribunnews.com )


Oleh: Dionisius Agus Puguh Santosa, SE, MM


Dalam kehidupan ini setiap manusia tentu mempunyai obsesinya masing-masing. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “obsesi” bermakna gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan. Apakah memang benar demikian yang dipahami oleh orang-orang di zaman sekarang?

Melalui banyak referensi dan bahan bacaan, seringkali kita mempertukarkan makna kata ini dengan kata “impian” yang bermakna sebagai sesuatu yang sangat-sangat diharapkan. Meski jika kita sandingkan kedua makna tersebut, tentu secara kasat mata kita akan segera menemukan perbedaan makna diantara kedua kata itu. Namun dalam realitasnya kedua kata tersebut saat ini lazim disubstitusikan satu sama lain dalam percakapan sehari-hari maupun dalam banyak artikel atau tulisan yang telah diterbitkan atau ditayangkan.


Mengeja Kata, Menyusun Kalimat

Tentu sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, kita sudah mulai diajarkan bagaimana cara menyusun kalimat. Dengan rumus sederhana S-P-O atau S-P-O-K, kita mencoba menuliskan kalimat demi kalimat, dengan beragam variasi dan bentuknya.

Saya berani memastikan bahwa ketika pertama kali kita belajar menyusun kalimat, terasa tak selalu mudah untuk membuat susunan yang tepat. Apalagi bagi kita yang mempunyai bahasa Ibu selain bahasa Indonesia. Tentu prosesnya menjadi lebih panjang, karena kita harus menterjemahkan terlebih dahulu kata-kata yang akan kita pergunakan, menterjemahkannya dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia.

Kesulitan yang kita alami tak berhenti di situ. Sebab pada masa kanak-kanak itu, kita juga baru mengenal makna kata, sehingga bisa saja terjadi kita menyusun sebuah kalimat dari beberapa kata dengan memasukkan kata-kata yang sebenarnya kurang atau tidak lazim dipergunakan dalam kalimat dimaksud.

Sebagai contoh sederhana misalnya seperti kalimat berikut: “Adik pergi dari sekolah”, yang mungkin oleh salah satu siswa akan dituliskan dalam kalimat, “Adik minggat dari sekolah”; dengan pemahaman kata 'minggat' sama dengan 'pergi'.

Barangkali kedengarannya lucu bagi kita-kita sebagai orang dewasa yang sudah memahami penggunaan kata secara tepat dalam kalimat, namun hal itu tidak selalu berlaku bagi mereka-mereka yang baru belajar menyusun kalimat.

Contoh lain misalnya saat siswa diminta menyusun kalimat dengan menambahkan awalan dan atau akhiran pada salah satu kata yang ada. Coba cermati contoh berikut;: “Bapak terbawa lamunan”. Siswa lainnya mungkin ada yang menulis, “Bapak membawa lamunan”, “Bapak dibawa lamunan”, dan “Bapak terbawa-bawa lamunan”.

Kalau dikaji lebih jauh, semua kalimat tersebut mempunyai makna yang beragam, hanya gara-gara perbedaan unsur awalan dan atau akhiran yang dipergunakan. Memang terlihat remeh tapi tidak untuk diremehkan!


Kata yang Terobsesi Menjadi Tulisan

Tentu sebagian orang punya obsesi untuk menjadi penulis seperti para penulis lain yang sudah terkenal lebih dahulu. Meskipun untuk menjadi penulis tentu tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi jika bercita-cita menjadi seorang “penulis terkenal”.

Usaha yang dilakukan dengan jalan membuat tulisan demi tulisan belumlah cukup. Perlu semangat dan komitmen untuk serius dan konsisten dalam menjalani obsesi ini. Sebab dalam realitasnya, sebagian orang hanya tampak menggebu-gebu di awalnya saja, setelah berhasil membuat beberapa tulisan kemudian berhenti dan menghilang dari dunia kepenulisan.

Menyusun kata demi kata agar bisa menjadi sebuah tulisan juga memerlukan perjuangan yang tak selalu mudah. Niat untuk menulis saja tak cukup, apalagi jika kita hanya melamun sepanjang hari tanpa menghasilkan apa-apa. Melamun sih boleh-boleh saja, asal kita ingat target untuk menghasilkan tulisan yang sudah kita buat sebelumnya.

Jika sebuah tulisan sudah berhasil kita ciptakan, maka sebaiknya kita tidak berhenti sampai di situ saja. Niatkan diri untuk menghasilkan tulisan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Jika menulis sudah menjadi niat dan berhasil kita lakukan setiap hari atau setiap saat, maka tak terasa, dalam waktu setahun kita akan mengumpulkan “tabungan tulisan” kita. Bila rajin menulis setiap hari satu tulisan, maka selama setahun kita akan menghasilkan 365 tulisan!

Bila untuk penerbitan sebuah buku minimal disyaratkan 60 halaman, maka kita punya peluang untuk menerbitkan 6 buku sekaligus per tahunnya. Suatu pencapaian yang menurut saya realistis, asal disertai kemauan dan kemampuan untuk mewujudkannya!

Jika ada kemauan tanpa disertai kemampuan, atau bila ada kemampuan namun tak disertai kemauan di dalamnya; maka obsesi untuk menjadikan tulisan-tulisan kita sebagai buku hanya akan menjadi obsesi belaka dan tak akan pernah menjadi kenyataan selamanya!


Banjarmasin, 18 Februari 2021

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tulisan yang Terobsesi Menjadi Buku"

Post a Comment